Rabu, 08 Juli 2009


MAKALAH
BUDIDAYA PAKAN ALAMI (FYTOPLANKTON, ZOOPLANKTON, DAN BENTHOS







0leh:
Budidaya Perairan





PROGRAM PENDIDIKAN D4
MANAJEMEN AGROINDUSTRI JOIN PROGRAM
PUSAT PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN (PPPPTK) PERTANIAN
Kerjasama Dengan
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2009






KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahim.
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahakn rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga telah dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Budidaya Pakan Alami” tepat pada waktunya.
Didalam penulisan makalah ini penulis banyak mendaptkan bantuan, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
Bapak Karyawan Perangin Angin S.St. M.Si selaku kepala instansi perikanan Vedca Cianjur.
Ibu Ir. Gusrina, M.Si selaku dosen mata kuliah budidaya pakan alami
Kedua orang tua dan keluarga yang selalu memberikan dorongan kepada penulis sehingga laporan ini dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih belum sempurna dan masih bayak terdapat kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangaun sangant diharapkan oleh penulis. Dan semoga laporan ini bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.



Cianjur, 01 Juni 2009

Penulis




PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pakan alami adalah sejenis paka ikan yang berupa organisme air. Organisme ini secara ekosistem merupakan produsen primer atau level makanan dibawah ikan dalam rantai makanan. Ikan dalam memanfaatkan pakan ini tergantung daripada kebiasaan makan ikan dan ukuran tubuh pakan itu sendiri. Pakan alami dapat berupa tumbuh-tumbuhan maupun hewani yang hidu didalam perairan.
Didalam kegiatan usaha budidaya atau pembenihan ikan baik ikan konsumsi maupun budidaya ikan hias, pakan alami tersebut sangat diperlukan sekalai sebagai sumber makanan dari alam. Hal ini dikarenakan pakan ini mempunyai kandungan gizi yang lengkap, mudah dicerna dalam saluran pencernaan karena isi selnya padat dan mempunyai dinding sel yang tipis, tidak menyebabkan penurunan kualitas air dan dapat meningkatkan daya tahan benih ikan terhadap penyakit maupun perubahan kualitas air karena tidak mengeluarkan racun, cepat berkembangbiak dan pergerakannya tidak terlalu aktif sehingga mudah ditangkap oleh larva.
Selain itu ukuran dan bentuk pakan alami sangat kecil sehingga cocok dan sesuai dengan bukaan mulut larva dan benih ikan tersebut. Ukuran pakan alami yang diperlukan untuk benih ikan konsumsi atau ikan hias harus lebih kecil dari ukuran lebar mulut benih ikan agar dapat dengan mudah dikonsumsi oleh beih ikan tersebut. Pada umumnya diperairan berupa organisme renik seperti : fitoplankton, zooplankton, dan benthos, maupun organisme tingkat rendah lainnya seperti tubifek, siput, larva serangga air dan lain-lainnya.
Organisme yang diperlukan untuk pakan alami ini dapat dibudidayakan sesuai kebutuhan, baik jenis maupun jumlah atau menangkap[nya langsung dari perairan. Agar ketersediaan pakan alami dalam suatu usaha budidaya ikan tersedia secara berkesinambungan maka harus dilakukan budidaya pakan alami. Untuk itu dibutuhkan pengetahuan tentang teknik budidaya pakan alami agar kebutuhan pakan alami selalu tersedia.


POKOK PERMASALAHAN BUDIDAYA PHYTOPLANKTON

Disini Saya Mengambil Beberapa Jenis Fhytoplankton (Algae) diantaranya:
1. Skeletonema costatum
a. Biologi Skeletonema costatum
Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty 1995 Skeletonema costatum diklasifikasikan sebagai berikut:
Phylum : Bacillariophyta
Kelas : Bacillariophyceae
Ordo : Bacillariales
Subordo : Coscinodiscinae
Genus : Skeletonema
Spesies : Skeletonema costatum
b. Morfologi Skeletonema costatum
Skeletonema costatum bersel tunggal (Uniselular), berukuran 4-6 mikron. Akan tetapi alga ini dapat membentuk urutan ranti yang terdiri dari beberapa sel. Sel berbentuk seperti kotak dengan sitoplasma yang memenuhi sela dan tidak memiliki alat gerak. Skeletonema costatum dinding sel yang unik karena terdiri dari dua bagian yang bertindih (flustula) yang terbuat dari silikat, bagian katub atas disebut epiteka dan kutup bawah disebut hipoteka. Pada bagian epiteka terdiri dari komponen epivaf dan episingulum dan pada bagian hipoteka terdiri dari komponen hipovaf dan hiposingulum (Clinton, 1981; ohilip, 1986; Lokman, 1990).


c. Siklus Hidup Skeletonema costatum
Secara normal skeletonema costatum ini bereproduksi secara aseksual, yaitu dengan pembelahan sel. Pembelahan sel yang terjadi berulang-ulang ini akan mengakibatkan ukuran sel menjadi lebih kecil secara berangsur-angsur hingga generasi tertentu. Apabila ukuran sel sudah dibawah 7 mikron, secara reproduksi tidak lagi secara aseksual akan tetapi berganti menjadi seksual dengan pembentukan auxospora. Mula-mula epiteka dan hipoteka ditinggalkan dan menghasilkan auxospora tersebut. Auxospora ini akan membangun epiteka dan hipoteka baru dan tumbuh menjadi sel yang ukurannya membesar, kemudian melakukan pembelahan sel hingga membentuk rantai (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
Menurut Romimohtarto dan Juwana (2001) Skeletonema costatum umumnya berkembangbiak dengan pembelahan sel sederhana. Cara ini memberikan hasil yang sangat bagus dalam mengembangkan populasi melalui dua jalan berbeda yaitu:
Pertama : Cara ini mendorong produksi dalam jumlah besar
yang cepat jika kondisi untuk tumbuh menyenagkan
Kedua : Ukuran terbesar yang dicapai sel tunggal sebagai
Bagian dari populasi terus berkurang oleh setiap
pembelahan berikutnya.

Menurut isnansetyo dan kurniastuty (1995) susunana perkembangan umum skeletonema costatum ditandai dengan sedikitnya empat tahap yang terpisah :
Tahap istirahat : Setelah penebaran bibit dalam media kultur,
populasi sekletonema costatum sementara
tidak berubah, sel masih beradaptasi dengan
lingkungannya.
Tahap eksponensial : Ditandai dengan pembiakan sel yang cepat
dan konstan.
Tahap stasioner : Kecepatan perkembangan sudah mulai
menurun secara bertahap, sel-sel secara total
atau adanya keseimbangan antara tingkat
kematian dengan tingkat pertumbuhan.
Tahap kematian : Tingkat kematian lebih tinggi dari tingkat
pertumbuhan.
d. Ekologi dan Fisiologi Skeletonema costatum
Secara ekologis, berbagai macam makanan itu dapat dikelompokkan sebagai plankton, nekton, bentos, perifitin dan neuston. Semua ini didalam perairan akan membentuk suatu rantai makanan dan jaringan makanan. Fitoplankton memegang peranan penting dalam perairan, sebab fitoplankto asal mulanya terjadi dari bahan organic, yang kemudian dijadikan sumber makanan oleh jasad-jasad lainnya. Zooplankton dan jasad-jasad lainnya akan berkembang Apabila tersedianya makanan yang cukup yang berasal dari fitoplankton tersebut (mudjiman, 2004).
Plankton adalah biota yang hidup di permukaan air dan mengapung, menghanyut atau berenag lemah, artinya mereka tidak melawan arus. Di alam bebas larva udang mengkonsumsi plankton baik berupa fitoplankton dan zooplankton. Oleh karena itu dalam pemeliharaan larva perlu di pilih jenis yang paling sesuai dan baik untuk makanan larva udang tersebut. Untuk keperluan ini maka jenis plankton tersebut harus dipelihara dalam bak tersendiri. Dalam pemeliharaan larva udang selain makanan alami juga makanan buatan sangat berperan yang diberikan sebagai makanan tambahan. Pemberian makanan yang berupa skeletonema costatum dimulai pada stadia zoea dan mysis (Nybakken, 1992).
Menurut Cahyaningsih (1990) ada beberap factor yang dapat digunakan sebagai acuan unutk menentukan apakah jenis plankton itu termasuk kategori pakan alami yang memenuhi syarat, diantaranya adalah:
Bentuk dan ukurannya sesuai dengan bukaan mulut larva
Mudah diproduksi secara massal dan mudah dibudidayakan
Kandungan sumber nutrisinya lengkap dan tinggi
Isi sel padat dan mempunyai dinding sel tipis sehingga mudah dicerna
Cepat berkembangbiak dan memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan sehinga lestari ketersediaannya
Tidak mengeluarkan senyawa beracun
Gerakannya menarik bagi ikan tetapi tidak terlalu aktif sehingga mudah ditangkap.
Diatom adalah ganggang atau alga renik yang termasuk dalam divisi thallophyta dan kelas diatomae (Bacillariophyta). Ganggang jenis ini memiliki dua ordo, yakni centrales dan pennales. Ordo centrales bentuknya seperti silinder dan kebanyakan hidup dilaut. Beberapa contoh anggota ordo centrales diantaranya planktoniella, cyclotella, coscinodiscus, chaetoceros, melosira dan skeletonema. Ordo pennales berbentuk lonjong, memanjang, seperti gada, dan seperti perahu. Jenis ini banyak hidup di air tawar. Beberapa contoh diantaranya adalah synedra, pleurosigma, navicula, nitzschia dan amphora (Mudjiman, 2004; bhactiar, 2003).

e. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Skeletonema costatum
Menurut Ruth dan Charles (1966) untuk mendapatkan hasil kultur skeletonema costatum yang berkualitas baik, maka diperlukan beberapa factor yang dapat mendukung keberhasilan lingkungan culture tersebut. Faktor-faktor yang mendukung tersebut diantanya adalah factor biologis, kimia, fisika, dan keberhasilan lingkungan kultur. Factor biologis meliputi penyediaan bibit yang bermutu dan jumlah yang mencukupi. Factor fisika yang mempengaruhi antaralain suhu, salinitas, pH, dan intensitas cahaya. Factor kimia adalah unsure hara dalam media pemeliharaan harus sesuai dengan kebutuhan jenis plankton yang akan dikultur. Selain factor tersebut diatas ada factor lain yang perlu diperhatikan yaitu kebersihan dari alat-alat kultur agar tidak terkontaminasi dengan organisme lain yang akan mengganggu pertumbuhan.
Suhu berperan dalam pengatur proses metabolisme organisme dalam perairan. Suhu mempengaruhu suatu stadium daur hidup organisme dan merupakan factor pembatas penyebaran suatu species. Dalam mempertahankan kelangsungan hidup dan reproduksi secara ekologis perubahan suhu menyebabkan perbedaan komposisi dan kelimpahan skeletonema costatum (Suriawiria, 1985). Dalam proses aerasi, selain terjadi proses pemasukan gas-gas yang diperlukan dalam proses potositesis juga akan timbul gesekan antara gelembung udara dengan moleku-molekul air sehingga terjadi sirkulasi air. Proses sirkulasi air ini sangat penting untuk memperthankan suhu tetap homogen serta penyebaran penyinaran dan nutrient tetap merata. Sirkulasi juga dapat mencegah pengendapan plankton dan menimbulkan getaran air yang menyerupai getaran di alam(Priyambodo, 2003;Mudjiman, 2004). Menurut isnasetyo dan kurniastuty (1995) untuk kultur berbagai jenis alga dibawah 300C merupakan suhu yang optimum. Untuk pertumbuhan optimal, alga ini membutuhkan kisaran suhu antara 250-270C.
Salinitas merupakan salah satu factor lingkungan yang mempengaruhi tekanan osmotik antara protoplasma sel organic dengan lingkungannya. Kadar garam yang berubah-ubah dalam air dapat menimbulkan hambatan bagi kultur sekletonema costatum. Sekeltonema costatum tumbuh optimal pada salinitas 25-29 ppt (Djarijah, 1995).
Pertumbuhan skeletonema costatum sangat tergantung pada intensitas lamanya penyinaran dan panjang gelombang cahaya yang mengenai sel-sel tanaman selama fotosintesis. Biasanya, dalam ruang kultur intensitas cahaya berkisar antara 500-5000 lux. Keadaan gelap dan terang juga harus dikontrol. Kultur penyediaan bibit, intensitas cahaya yang diberikan berkisar antara 500-1000 lux, biasnya 12 jam dalam keadaan terang dan 12 jam dalam keadaan gelap. Kultur missal diruang terbuka, intensitas cahaya lebih baik diberikan dibawah 10.000 lux (Isnantyo dan Kurniastuty, 1995).
f. Kebutuhan Nutrien
Skeletonema costatum untuk kehidupannya memerlukan bahan-bahan organikdan anorganik yang diambil dari lingkungannya. Bahan-bahan tersebut dinamakan nutrien, sedangkan penyerapannya disebut nutrisi. Fungsi utama bahan makanan (nutrien) adalah sebagai sumber energi dan pembangun sel. Pada budidaya ekeletonema costatum sangat dibutuhkan berbagai macam senyawa organic baik senyawa unsur hara makro (Nitrigen, Fosfor, Besi, Sulfat, magnesium, Kalsium dan kalium) dan unsur hara mikro (Tembaga, Mangan, Seng, Boron, Molibdenum dan cobelt) (Ruth dan Charles, 1966).
Cahyaningsih (2005) menganjurkan bahwa untuk kultur skeletonema costatum skala laboratorium dapat digunaka pupuk Conway ditambahkan silikat (Na2SiO3) sebanyak 5 mg/L, NaH2PO4 : 10-15 mg/L, Na2SiO3 : 10-15 mg/L, FeCl3 : 5-10 mg/L, EDTA : 5-10 mg/L. sedangkan untuk kultur skala missal dapat digunakan pupuk dengn komposisi urea 60 gr/ton, NaH2PO4 8 gr/ton, Na2SiO3 6 gr/ton, FeCl3 1 gr/ton, EDTA 5 gr/ton atau TSP 15 gr/ton, Urea 30 gr/ton, Na2SiO3 10 gr/ton, KNO3 60 gr/ton, FeCl31 gr/ton, EDTA 3 gr/ton.
g. Upaya Pembudidayaan
a). Isolasi
Tujuan isolasi untuk memperoleh fitoplankton monopesies (murni) dengan cara mengambil sampel air laut di alam dengan menggunakan planktonet, untuk selanjutnya diamati dibawah mikroskop. Ada beberapa cara isolasi antara lain pengenceran berseri dan menggunakan pipet kapiler. Pengenceran berseri digunakan bila jumlah organism banyak dan ada spesies dominan, memindahkan sampel kedalam beberapa tabung reaksi yang dikondisikan untuk pertumbuhan yang akan disisolasi. Sedangkan dengan menggunakan pipet kapiler, dimana sampel 10-15 tetes medium (Isnansetyo dan kurniastuty, 1999).
b). Kultur Skala Semi-Massal
Kegiatan kultur skala semi-massal ini, dilakukan diruang semi “out door” tanpa dinding, beratap transparan untuk memanfaatkan cahaya matahari. Kultur dengan wadah aquarium /fiber transparan pada volume sekitar 100 liter. Sebelum melakukan kultur, terlenih dahulu menyiapkan wadah dan peralatan lainnya dengan kaporit 100 ppm. Sterilisasi air laut di bak dengan kaporit 15-10 ppm dilakukan pengadukan selama 1-2 hari atau sampai netral kemudian diendahkan dengan menghentikan pengadukan. Untuk volume diperlukan bibit 5-10 % dari volume total. Diawal total kultur salinitas 28-30 ppt suhu air dibawah 300C dan pH 7,9-8,3 dan kekuatan cahaya pada kisaran 10000-50000 lux. Pupuk yang digunakan adalah pupuk teknis (Cahyaningsi, 1990).
c). Kultur Massal
Kultur massal/out door dimulai dari volume 1 ton sampai dengan 20 ton atau lebih. Air laut dengan salinitas tertentu dimasukan kedalam bak-bak kultur, selanjutnya dilakukan pemupukan dan diberi aerasi. Pupuk yang digunakan untuk kultur massal adalah pupuk teknis atau pupuk pertanian seperti : Urea, TSP, dan vitamin mix (Djarijah, 1995).


2. Chlorella sp

Chlorella termasuk dalam phytoplankton, bentuknya bulat seperti bulat telur, mempunyai khloroplas seperti cawan, dindingnya keras, padat dan garis tengahnya 5 mikron, dan perkembangbiakannya terjadi secara aseksual, yaitu dengan pembelahan sel in duknya, sedangkan habitatnya adalah tempet-tempat yang basah dan medianya mengandung cukup unsur hara seperti : N, P, K dan unsur mikro lainnya ”karbon, nitrogen, fosfor, sulfur dan lain-lain”.


Prosedur Kultur Chlorella Sp Skala Lab
1. Persiapan Bibit
a). Alat yang digunakan akan digunakan dicuci dengan deterjen,
kemudian dibilas dengan larutan klorin 150 ppm.
b). Kultur dalam wadah volume 1 galon
Dimana wadah yang digunakan berupa toples, selang aerasi, dan batu aerasi.
Toples diisi medium ± 3 liter, untuk cholrella air laut menggunakan medium dengan kadar garam 15 permil, dan untuk clorella air tawar dapat menggunakan air tawar yang disaring dengan kain saringan 15 mikron.
Air disterilkan dengan cara mendidihkan dalam outoclav
Pemupukan dengan menggunakan ramuan Allen-Miguel, yang terdiri dari dua larutan , yaitu :
Larutan A, terdiri dari 20 gram KNO3 dalam 100 ml air suling
Larutan B, terdiri dari 4 gram Na2HPO4. 12H2O, 2 gram CaCL2. 6H2O, 2 gram FeCL3, dan 2 ml HCL, dari semua jenis ramuan dilarutkan dalam 80 ml air suling
Setiap 1 liter medium, menggunakan 2 ml larutan A dan 1 ml Larutan B.
c). Kultur Dalam Wadah Volume 60 Liter Atau 1 Ton
Diamana wadah yang akan duigunakan terlebuh dahulu disuci hamakan. Air untuk medium harus di saring terlebih dahuliu sebelum digunakan. Medium dipupuk dengan jenis dan takaran : 100 mg/liter pupuk TSP, Urea sebanyak 10-15 mg/liter, dan pupuk KCL sebanyak 10-15 ml/L.
Untuk pertumbuhan dalam wadah besar yaitu volume 1 ton cukup dengan menggunakan urea dengan takaran 50 gram/m3.

Pemeliharaan
a). Pemeliharaan dalam wadah volume 1 galon
Bibit ditebbar dalam medium yang telah diberi pupuk, sampai airnya berwarna kehijau-hijauan. Bibit yang dimasukan harus disaring dengan saringan 15 mikron
Wadah disimpan dalam ruang laboratorium dibawah penyinaran lampu neon, dan media diberi aerasi terus menerus.
Setelah ± 15 hari, Chlorella sudah tumbuhy dengan kepadatan sekitar 10 juta sel/ml. Dan biasanya iarnya berwarna hijau segar.
Hasil penumbuhan ini digunakan sebagai bibit pada penumbuhan dalam wadah yang lebih besar.



b). Pemeliharaan dalam wadah volume 60 liter atau 1 ton
Untuk wadah 60 liter membutuhkan satu galon bibit dan untuk wadah 1 ton membutuhkan 5 galon bibit
Dimana selain menggunakan pupuk, dapat dilepaskan ikan mujair 4-5 ekor/m2 yang diberi pakan pelet secukupnya, disini bertujuan untuk sebagai pengahasil pupuk organik dari kotorannya.
Wadah disimpan dalam ruangan yang kena sinar matahari langsung
Setelah 5 hari pertumbuhan terjadi dan pada puncaknya dapat mencapai kepadatan 5 juta sel/ml
Secara berskala medium perlu dipupuk susulan, penambahan air baru, dan pemberian obat pemberantasan hama.

Pemanenan
Diamana chlorella dapat dipanen setelah mencapai puncak dan dapat diberikaqn langsung pada ikan yang dipelihara tersebut.



3. Dunaliella

a. Klasifikasi dan Morfologi
Menurut Borowitzka (1992) Dunaliella sp, diklasifikasikan sebagai berikut:
Phylum : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Volvocales
Familia : Polybiepharidaceae
Genus : Dunaliella
Spesies : Dunaliella salina
Secara morfologis Dunaliella menyerupai Tetraselmis sp, Dunaliella memiliki kloroplas yang mengakumulasi sejumlah besar β-carotene. Ukuran selnya bervariasi, tergantung kondisi pertumbuhan dan intensitas cahaya (Puja et al, 1999). Varian bentuk fitoplankton ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti salinitas, intesitas cahaya yang diterima dan temperatur ruangan selama kultur (Chen dan Shetty, 1991).

Gambar 1. Dunaliella salina

b. Habitat dan Penyebaran
Menurut Susanto, Siska dan Nur (2005) secara umum Dunaliella mampu tumbuh pada berbagai tingkat kadar garam, dengan kisaran salinitas 30 – 100 ppt bahkan 140 ppt, meski jumlah sel yang dicapai pada setiap kadar garam berbeda, kadar garam nampaknya bukan merupakan faktor pembatas bagi kelangsungan hidup Dunaliella.
Osmoregulasi yang terjadi pada Dunaliella sp berdasarkan pada kemampuan sel untuk mensintesa secara terus menerus dan menurunkan kadar gliserol dalam merespon berbagai kondisi salinitas lingkungan (Ben-Amotz, 1975). Mutu air yang sesuai untuk menunjang pertumbuhan Dunaliella sp yaitu suhu 22o – 26o C, salinitas 30 – 38 °/oo, pH 6 – 6,5 (Redjeki dan Ismail, 1993).

c. Reproduksi dan Perkembangan
Reproduksi Dunaliella salina dilakukan secara vegetatif dan generatif. Pada saat proses pembelahan inti, maka pirenoid akan melebar melintang dan menyebabkan dua flagella saling berjauhan. Pada pirenoid dan kloroplas akan terbentuk suatu lekukan yang kemudian akan membelah dan menjadi individu-individu baru, masing-masing dengan satu flagella dan satu sel anak yang belum mempunyai stigma. Stigma yang terbentuk ini merupakan hasil proses metamorfosis dari kromatofora (Tjittrosoepomo, 1991).

Reproduksi seksual terjadi dengan cara melakukan isogami melalui konjugasi. Zigot berwarna hijau atau merah yang dikelilingi sporollenin yang halus dan sangat tipis. Nukleus zigot akan membelah secara meiosis. Pembelahan meiosis ini akan terjadi setelah interfase. Pada fase ini lebih dari 32 sel yang dibebaskan melalui retakan pada dinding sel induk (Chen dan Shetty, 1991).

Menurut Martossudarmo dan Wulani (1990), pertumbuhan phytoplankton secara umum ditandai dengan lima tahap terpisah yaitu:
1). Tahap Induksi
Tahap adaptasi dengan lingkungan yang baru, populasi tidak berubah untuk sementara waktu.
2). Tahap Eksponensial
Ditandai dengan pembiakan sel yang cepat dan konstan.

3). Tahap Perlambatan Pertumbuhan
Kecepatan tumbuh mulai melambat, faktor yang berpengaruh adalah kekurangan nutrient, laju suplai CO2 atau O2, dan perubahan nilai pH.

d. Tahap Stasioner
Terjadinya penurunan kecepatan perkembangan secara bertahap. Jumlah populasi konstan dalam waktu tertentu sebagai akibat dari penghentian pembiakan sel-sel secara total atau adanya keseimbangan antara tingkat kematian dan tingkat pertumbuhan.
e. Tahap Kematian
Tingkat kematian lebih tinggi dari tingkat perkembangan.
Mengenai pertumbuhan alga yang dinamis merupakan hal yang penting untuk mencapai produksi alga yang dibutuhkan secara tetap. Meskipun demikian, susunan perkembangan secara umum ditandai dengan sedikitnya empat tahap yang terpisah. Berikut grafik pertumbuhan phytoplankton:
Di dalam Anonymous (1990) dijelaskan bahwa pakan alami adalah makanan hidup bagi larva dan benih ikan atau udang. Pakan alami tersebut mencakup fitoplankton, zooplankton dan benthos. Berbagai jenis pakan alami secara umum cocok untuk makanan berbagai tingkatan umur larva, benih atau benur. Sifat pakan alami yang begerak tetapi tidak begitu aktif, memungkinkan dan mempermudah benur atau benih ikan untuk memangsanya.
Plankton yang akan dijadikan pakan alami harus memenuhi syarat. Menurut Djarijah (1995), syarat-syarat tersebut adalah :
Bentuk dan ukuran sesuai dengan lebar bukaan mulut ikan pemakannya.
Mudah diproduksi secara massal.
Kandungan sumber nutrisinya tinggi.
Cepat berkembang biak.
Memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap perubahan lingkungan sehingga lestari ketersediaanya.
Tidak mengeluarkan senyawa beracun
Gerakannya tidak terlalu aktif sehingga mudah ditangkap.
Menurut Ekawati (2005) Dunaliella salina merupakan jasad makanan yang baik untuk larva teripang. Plankton ini juga dapat digunakan sebagai makanan Branchionus plicatilis dan makanan Artemia salina pada budidaya massal Artemia. Di beberapa negara seperti halnya Amerika, Australia dan Israel jenis plankton ini mendapat perhatian besar karena dapat menghasilkan β-carotene. Sedangkan pada umumnya, Dunaliella dibudidayakan untuk mendapatkan ekstrak β-carotene yang terakumulasi dengan konsentrasi cukup tinggi di khloroplasnya. Dunaliella salina dapat memproduksi carotene dengan jumlah yang cukup besar di danau garam yang pada umumnya kandungan nitrogennya sangat rendah dan mendapatkan penyinaran yang tinggi (Ben-Amotz, 1999). Fungsi β-carotene telah banyak dipelajari dan pada umumnya terkonsentrasi pada aktivitas antioxidant, pencegahan mutasi gen, peningkatan imunitas serta kemampuan menghambat pertumbuhan sel tumor (Santamaria, 1980).



f. Teknik Kultur Skala Laboratorium
1. Sterilisasi
Erlina Antik (2003) menyatakan semua peralatan yang digunakan untuk isolasi, pemindahan dan pemeliharaan kultur murni harus disterilkan termasuk juga peralatan gelas, kapas, kain kasa steril dan media cair atau padat. Sterilisasi harus dilakukan dengan autoklaf pada suhu 121 oC dalam uap air dengan tekanan 1 kg/cm2 selama 45 menit. Sebelum dimasukkan ke dalam autoklaf, semua peralatan harus dibungkus dengan kertas alumunium. Peralatan ini kemudian dapat dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama 20 menit sebelum digunakan, pembungkus dibuka bila hendak digunakan. Pipet, tabung reaksi, tabung plastik dan lainnya juga dapat disterilkan melalui pencucian dengan HCL (kadar 10 – 50 %) selama beberapa jam.

Pengambilan Sampel Alga
Untuk memperoleh sampel/contoh alga dapat dilakukan dengan pengambilan secara langsung di laut atau perairan umum lainnya atau mendapatkan dari panti benih. Sampel dari laut dapat diambil dengan cara menggunakan saringan plankton T200 dan T150 yang dibuat membentuk kantung kerucut.
Di laboratorium, contoh alga diisolasi secara sederhana dengan menggunakan beberapa macam saringan dan kemudian diperbanyak di media yang baru untuk memperoleh alga berkualitas lebih baik sebelum prosedur isolasi sebenarnya dimulai (Erlina Antik, 2003).

Persiapan Media Kultur
Pada dasarnya, media buatan yang telah diperkaya nutriennya dapat digolongkan sebagai alamiah maupun buatan. Air laut yang kaya akan bahan-bahan nutrien dianggap sebagai media alami. Media air laut buatan adalah campuran air suling, bahan-bahan nutrien dan garam laut buatan. Menurut laporan, media buatan memberikan hasil yang paling konstan dalam kultur alga. Media alami dapat memberikan hasil yang bermacam-macam tergantung tempat dan waktu pengambilan air yang digunakan.
Untuk mencegah kontaminasi sebaiknya setiap kali pembuatan media murni cukup dibuat 500 ml, dan hal ini dapat dilakukan sesering mungkin sesuai kebutuhan. Untuk media agar, bahan yang diperlukan adalah bubuk agar murni (Agar Extra Pure Powder) sebanyak 1,5 – 2 % dari volume air media yang akan digunakan. Selain agar murni, agar biasa yang dijual di pasaran juga dapat digunakan dan hasilnya cukup baik.

Isolasi Alga
Teknik isolasi fitoplankton merupakan langkah awal yang memegang peranan penting dalam kultur pakan alami. Sediaan inokulum atau bibit yang mempunyai kualitas dan kuantitas yang baik serta berkesinambungan sangat diharapkan untuk mendukung proses pembenihan ikan atau udang, isolasi spesies fitoplankton bukan masalah yang sederhana karena sifat alami sel fitoplankton dari pakan alami itu sendiri. Secara individu sel fitoplankton sangat kecil dan biasanya berasosiasi dengan spesies epiphytic lain yang tidak sesuai (Suriadyani, 2006).
Isnansetyo dan Kurniastuti (1995) menyatakan ada beberapa cara isolasi mikroalga untuk mengambil kultur murni jenis tunggal. Cara-cara ini tidak hanya digunakan untuk memisahkan jenis yang diinginkan dari populasi berbagai jenis plankton alam, tetapi juga digunakan untuk memisahkan satu jenis atau mikroalga yang telah terkontaminasi oleh organisme lain. Pada dasarnya ada tiga cara yaitu metode kait dan pipet, metode isolasi pada cawan petri dan metode sub kultur berulang .




Metode Kait dan Pipet
Peralatan utama yang diperlukan adalah mikroskop binokuler dengan perbesaran sedikitnya 50 x dan sebuah kait halus atau pipet kapiler. Contoh plankton dituang pada cawan petri dan diperiksa di bawah mikroskop, bila ada koloni yang diinginkan maka dapat langsung diambil dengan cara mengait atau dengan pipet. Kumpulan atau individu alga yang didapat diambil dan dipindahkan ke media agar atau media cair di atas slide (kaca preparat) dan diperiksa lagi. Bila jenis yang diinginkan sudah dapat dipastikan, media agar diinkubasi dan kemudian dipindahkan ke dalam media cair. Untuk alga dalam media cair, jenis yang dipilih dipindahkan ke media cair dalam tabung gelas untuk diinkubasi.

6. Metode Isolasi dan Cawan Petri
Bubuk agar yang telah ditimbang ditambahkan ke dalam media yang sudah dipupuk dan dipanaskan sampai larut kemudian dituang ke dalam cawan petri dan akan mengeras bila sudah dingin. Satu tetes dari masing-masing alga atau contoh plankton dituang ke atas media dan diratakan dengan pengaduk kaca, kemudian diinkubasikan dalam kondisi optimal. Cawan petri disimpan secara terbalik. Dalam beberapa hari, koloni fitoplankton akan tumbuh pada permukaan media agar. Dengan menggunakan mikroskop, jenis yang diinginkan diambil dari cawan petri dengan kait atau pipet kemudian dilakukan prosedur inkubasi.

7. Metode Subkultur berulang
Berbagai media dengan menggunakan formula pupuk, kadar pupuk dan salinitas yang berbeda perlu disiapkan dalam tabung gelas atau Erlenmeyer. Satu tetes contoh fitoplankton dituangkan ke dalam masing-masing wadah tersebut dan diinkubasi dalam keadaan yang berbeda (suhu, intensitas cahaya atau lamanya penerangan). Setelah beberapa hari dalam kondisi yang berbeda-beda, jenis yang dominan akan muncul dalam masing-masing tabung. Bila hal ini terjadi, proses ini diulangi lagi dengan memindahkan satu tetes dari masing-masing tabung ke tabung-tabung yang baru yang berisi media yang sama dan kemudian diinkubasi dalam keadaan yang sama. Pemisahan kedua ini akan menghasilkan kultur jenis tunggal.

Inokulasi dan Pemeliharaan Alga Murni
Kultur penyediaan bibit yang digunakan untuk memproduksi dalam jumlah yang besar dipelihara dalam ruang kultur. Suhu dalam ruangan ditetapkan sekitar 20 oC. Udara yang masuk disaring dengan alat penyaring dengan ukuran mata jaring 0,2 mikron. Untuk kultur penyediaan bibit, intensitas cahaya yang diperlukan adalah rendah yaitu 250 – 1000 lux maupun gelap total. Kultur tidak diberi aerasi untuk mengurangi kemungkinan kontaminasi (Erlina Antik, 2003).

Pengamatan dan Pemindahan Alga Bibit
1). Kegiatan ini sangat penting untuk menjaga kesinambungan dan kelestarian kultur sehingga ketersediaannya secara lumintu setiap saat. Jumlah tabung gelas atau tabung erlenmeyer harus selalu lebih banyak dari tahap-tahap sebelumnya. Hal ini penting untuk mendapatkan mutu kultur murni yang baik pada setiap tahap kultur. Bibit alga yang mutunya paling baik harus dipilih dari kultur yang akan digunakan sebagai bibit inokulum dalam tahap kultur selanjutnya. Alga yang digunakan sebagai bibit inokulum harus dalam fase eksponensial. Buanglah alga yang bermutu rendah atau yang terkontaminasi.


BUDIDAYA ZOOPLANKTON
Disini saya mengambil beberapa jenis dari zooplankton diantaranya :
DAPHNIA SP.
Daphnia sp. adalah jenis zooplankton yang hidup di air tawar, biasanya banyak ditemukan pada kolam-kolam atau danau-danau. Daphnia sp. dapat hidup di daerah tropis dan subtropis. Kehidupan Daphnia sp. dipengaruhi oleh beberapa faktor ekologi perairan antara lain: suhu, oksigen terlarut dan pH. Daphnia sp. dapat beradaptasi dengan baik pada perubahan lingkungan hidupnya dan termasuk dalam ketegori hewan eutitropik dan tahan terhadap fluktuasi suhu harian atau tahunan. Kisaran suhu yang dapat ditolerir bervariasi sesuai adaptasinya pada lingkungan tertentu. Daphnia sp. dapat hidup dalam air yang kandungan oksigen terlarutnya sangat bervariasi yaitu dari hampir nol sampai lewat jenuh.
Ketahanan Daphnia sp. pada perairan yang miskin oksigen mungkin disebabkan oleh kemampuannya dalam mensintesis haemoglobin. Dalam kenyataannya, laju pembentukan haemoglobin berhubungan dengan kandungan oksigen lingkungannya. Naiknya kandungan haemoglobin dalam darah Daphnia sp. dapat juga diakibatkan oleh naiknya temperatur, atau tingginya kepadatan populasi. Untuk dapat hidup dengan baik Daphnia sp. memerlukan oksigen terlarut yang cukup besar yaitu di atas 3,5 ppm. Daphnia sp. hidup pada kisaran pH cukup besar, tetapi nilai pH yang optimal untuk kehidupannya sukar ditentukan. Lingkungan perairan yang netral dan relatif basah yaitu pada pH 7,1 – 8,0 baik untuk pertumbuhannya. Pada kandungan amoniak antara 0,35 – 0,61 ppm, Daphnia sp. masih dapat hidup dan berkembangbiak dengan baik.
Di alam genus Daphnia mencapai lebih dari 20 spesies dan hidup pada berbagai jenis perairan tawar, terutama di daerah sub tropis. Daphnia sp. Sebagai hewan air, juga dikenal sebagai kutu air (= water fleas).
Daphnia sp. dapat diklasifikasikan dalam :
Philum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Sub Kelas : Branchiopoda
Divisi : Oligobranchiopoda
Ordo : Cladocera
Famili : Daphnidae
Genus : Daphnia
Spesies : Daphnia sp.


Gambar. Gambar Daphnia sp.
Bentuk tubuh Daphnia sp. lonjong dan segmen badan tidak terlihat. Pada bagian ventral kepala terdapat paruh. Kepala mempunyai lima pasang apendik, yang pertama disebut antena pertama, kedua disebut antena kedua yang mempunyai fungsi utama sebagai alat gerak. Tiga pasang yang terakhir adalah bagian-bagian dari mulut. Tubuh ditutupi oleh cangkang dari kutikula yang mengandung khitin yang transparan, di bagian dorsal bersatu, tetapi dibagian ventral terbuka dan terdapat lima pasang kaki.

Gambar 2. Morfologi Daphnia sp
Keterangan :
A : Otak
B : Ruang pengeraman
C : Caecum Pencernaan
D : Mata
E : Fornix
F : Antena Pertama
G : Usus
I : Jantung
J : Ocellus
K : Ovarium
L : Paruh
M: Kelenjar Kulit Daphnia sp.


Ruang antara cangkang dan tubuh bagian dorsal merupakan tempat pengeraman telur. Pada ujung post abdomen terdapat dua kuku yang berduri kecil-kecil. Pada habitat aslinya, Daphnia sp. Berkembangbiak secara parthenogenesis. Perbandingan jenis kelamin atau “sex ratio” pada Daphnidae menunjukkan keragaman dan tergantung pada kondisi lingkungannya. Pada lingkungan yang baik, hanya terbentuk individu betina tanpa individu jantan. Pada kondisi ini, telur dierami di dalam kantong pengeraman hingga menetas dan anak Daphnia sp. dikeluarkan pada waktu pergantian kulit.
Didalam kondisi yang mulai memburuk, disamping individu betina dihasilkan individu jantan yang dapat mendominasi populasi dengan perbandingan 1 : 27. Dengan munculnya individu jantan, populasi yang bereproduksi secara seksual akan membentuk efipia atau “resting egg” disebut juga ciste yang akan menetas jika kondisi perairan baik kembali.
Terbentuknya telur-telur yang menghasilkan individu jantan dirangsang oleh :
1. Melimpahnya individu betina yang mengakibatkan akumulasi hasil ekspresi
2. Berkurangnya makanan yang tersedia
3. Menurunnya suhu air dari 25-30 menjadi 14-170C
Kondisi-kondisi tersebut dapat mengubah metabolisme Daphnia sp. sehingga dapat mempengaruhi mekanisme kromosomnya. Di daerah tropis, Daphnia sp. yang didatangkan dari daerah subtropis seringkali juga membentuk efipia pada musim kemarau.
Daphnia sp. dewasa berukuran 2,5 mm anak pertama sebesar 0,8 mm dihasilkan secara parthenogenesis. Daphnia sp. mulai menghasilkan anak pertama kali pada umur 4-6 hari. Pada lingkungan yang bersuhu antara 22 – 310C pH antara 6,6 – 7,4 Daphnia sp. sudah menjadi dewasa dalam waktu empat hari dengan umur yang dapat dicapai hanya 12 hari. Setiap satu atau dua hari sekali, Daphnia sp. akan beranak 29 ekor. Jadi selama hidupnya hanya dapat beranak tujuh kali dengan jumlah yang dihasilkan 200 ekor. Selama hidupnya Daphnia sp. mengalami empat periode yaitu telur, anak, remaja dan dewasa. Pertambahan ukuran terjadi sesaat setelah telur menetas didalam ruang pengeraman. Setelah dua kali instar pertama, anak Daphnia sp. yang bentuknya mirip Daphnia sp. Dewasa dilepas dari ruang pengeraman. Jumlah instar pada stadium anak ini hanya dua sampai lima kali, tetapi tingkat pertumbuhan tertinggi terjadi pada stadium ini. Periode remaja adalah instar tunggal antara instar anak terakhir dan instar dewasa pertama. Pada periode ini sekelompok telur pertama mencapai perkembangan penuh di dalam ovarium. Segera setelah Daphnia sp. ganti kulit pada akhir instar remaja memasuki instar dewasa pertama, sekelompok telur pertama dilepaskan ke ruang pengeraman. Selama instar dewasa pertama, kelompok telur kedua berkembang di ovarium dan seterusnya. Namun adakalanya terdapat periode steril pada Daphnia sp. tua.
Pertambahan panjang dan bobot Daphnia sp. selama pertumbuhan cukup pesat, terutama setelah ganti kulit. Selama instar anak terjadi pertumbuhan hampir dua kali lipat dibandingkan sebelum ganti kulit. Sedangkan pertambahan volume terjadi dalam beberapa detik atau menit sebelum eksoskeleton baru mengeras dan kehilangan elastisitasnya (Gusrina,2002).
Pada akhir setiap instar Daphnia sp. dewasa terdapat peristiwa berurutan yang berlangsung cepat, biasanya terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam, yaitu :
(1) Lepasnya atau keluarnya anak dari ruang pengeraman;
(2) Ganti kulit (molting);
(3) Pertambahan ukuran;
(4) Lepasnya sekelompok telur baru ke ruang pengeraman;


Teknik Kultur Daphnia Sp
Adapun kegiatan budidaya Daphnia sp ini meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
Persiapan wadah dan media
Wadah dan volume yang dapat digunakan untuk membudidayakan Daphnia sp ada beberapa macam antara lain adalah: bak semen, fiber, kolam atau akuarium. Pemilihan wadah budidaya ini sangat bergantung kepada skala produksi budidaya Daphnia. Wadah budidaya Daphnia ini sebaiknya ditempatkan di ruang terbuka.
Sebelum mempersiapkan wadah dan media budidaya daphnia sp, alangkah baiknya apabila kita menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan dalam budidaya Daphnia sp ini. Adapun alat-alat yang digunakan selama praktek di BBAP Ujung Batee ini meliputi: Wadah budidaya berupa fiberglass, sikat, ember, DO meter, aerator, selang aerasi, pemberat dan penggaris. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan dalam praktek budidaya Daphnia sp di BBIS Ngrajek meliputi: air bersih (air PAM), pupuk kandang (campuran kotoran kuda dan kotoran ayam) dan bungkil kelapa.
Setelah mempersiapkan alat dan bahan, tahap selanjutnya adalah membersihakan wadah pemeliharaan Daphnia sp. Pada pelaksanaan praktek kerja lapangan di BBAP Ujung Batee, wadah budidaya daphnia sp yang digunakan berupa bak fiber yang berdiameter 192 cm. Wadah yang digunakan berjumlah 2 buah. Fiber dibersihkan dengan cara disikat kemudian dibilas sampai bersih dan di keringkan.

Gambar. Wadah pemeliharaan Daphnia sp
Setelah dikeringkan, kemudian fiber diisi air bersih sampai ketinggian 65 cm. Kemudian aerasi yang telah diberi pemberat dimasukkan, setiap fiber diberi 1 buah aerasi.
Tahap selanjutnya yaitu penyediaan pupuk. Pupuk yang digunakan selama praktek berupa campuran kotoran kuda dan campuran ayam selain itu juga ditambahkan bungkil kelapa untuk mempercepat tumbuhnya diatome.
Adapun kebutuhan pupuk dapat dilihat pada table dibawah ini.
Tabel. Kebutuhan pupuk dalam budidaya Daphnia sp
No fiber Volume air (liter) Kebutuhan pupuk (campuran kotoran kuda dan kotoran ayam) Total pupuk (campuran kotoran kuda dan kotoran ayam) dalam fiber Kebutuhan bungkil kelapa Total bungkil dalam fiber
1 1880,9 3 gr/liter 5,6 kg 0,2 gr/liter 376 gr
2 1880,9 3 gr/liter 5,6 kg 0,2 gr/liter 376 gr

Campuran kotoran ayam dan kotoran kuda serta bungkil kelapa dimasukkan ke dalam karung bekas yang bersih. Kemudian karung tersebut diikat dan dimasukkan kedalam fiber masing-masing yang telah diisi air. Sesekali karung tersebut digoyang-goyangkan supaya pupuknya dapat tersebar merata ke seluruh fiber. Kemudian biarkan media selama 7 hari dengan diaerasi kuat hingga tumbuh diatome atau media telah berwarna kecoklatan.

Gambar. Persiapan media pemeliharaan Daphnia sp

2. Inokulasi dan Pemeliharaan Daphnia sp
a). Asal Induk
Pada pelaksanaan praktikum di BBAP Ujung Batee, induk daphnia yang digunakan berasal dari kolam- kolam pendederan. Pada umumnya induk yang diambil telah mencapai tahap dewasa. Induk diambil dengan menggunakan planktonet kemudian dipisahkan dari kotoran-kotoran, sehingga induk yang dihasilkan tidak tercampur dengan organism lain.
b). Menghitung Kebutuhan Induk
Sebelum menghitung kebutuhan induk, tahap yang dilakukan adalah sampling jumlah induk dalam 1000 ml. Berdasarkan sampling jumlah induk dihasilkan jumlah rata-rata 38 ekor (dibulatkan) dalam 1000 ml volume sampel. Sedangkan padat tebar yang digunakan dalam budidaya daphnia ini adalah 20 ekor per liter.



Sehingga kebutuhan induk dalam setiap fiber adalah sebagai berikut:
Jumlah induk dalam setiap fiber = padat tebar x volume air dalam fiber
= 20 x 1880,9 liter
= 37.618 ekor.
c). Pemeliharaan Daphnia sp
Setelah dihitung kebutuhan induk, tahap selanjutnya adalah memasukkan induk ke dalam media yang telah disiapkan sebelumnya. Induk yang telah dimasukkan dibiarkan selama tujuh hari supaya berkembang biak. Selama pemeliharaan dilakukan pengecekan kualitas air dan hasilnya seperti yang terlihat pada table dibawah ini.
Tabel. Parameter kualitas air pada fiber pemeliharaan Daphnia sp
Parameter air Nilai
Oksigen terlarut 2,15 mg/L
Suhu 26,6°C
Ph 7,27

Selama masa pemeliharaan dilakukan sampling populasi daphnia sp setiap 2 hari sekali. Sampling dilakukan dengan mengambil air media sebanyak 100 ml dalam gelas piala dari beberapa titik dan diambil jumlah reratanya.
d). Pemanenan Daphnia sp
1. Mempersiapkan alat-alat panen
Sebelum melakukan pemanenan Daphnia sp, hal yang harus dilakukan yaitu mempersiapkan alat-alat panen. Adapun alat-alat panen yang digunakan untuk memanen Daphnia sp di BBAP Ujung Batee meliputi: ember, planktonet, selang, aerator baskom berukuran kecil, timbangan digital dan sendok.

Gambar. Planktonet

Menghitung populasi Daphnia sp
Pemanenan Daphnia sp dilakukan setelah masa pemeliharaan 7 hari atau Daphnia sp telah mengalami puncak populasi. Untuk menghitung populasi daphnia diambil 100 ml air media dalam gelas piala dari beberapa titik dalam fiber dan kemudian diambil rata-ratanya. Tetapi untuk mengetahui perkiraan populasi daphnia dari awal serta untuk mengukur keberhasilan budidaya daphnia maka dibuat perhitungan perkiraan populasi daphnia seperti yang tertera dalam grafik di bawah ini.
Perkiaraan populasi daphnia dari awal pemeliharaan hingga panen dapat dilihat pada grafik dan table dibawah ini.

Grafik. Perkiraan populasi Daphnia sp selama 7 hari

Tabel. Prediksi populasi Daphnia sp selama 7 hari
No fiber Populasi Daphnia sp selama 2 hari masa pemeliharaan (ekor) Populasi Daphnia sp selama 4 hari masa pemeliharaan (ekor) Populasi Daphnia sp selama 6 hari masa pemeliharaan (ekor) Populasi Daphnia sp selama 7 hari masa pemeliharaan (ekor)
1 1.128.540 2.219.462 3.310.384 3.310.384
2 1.128.540 2.219.462 3.310.384 3.310.384

Sedangkan hasil yang diperoleh dari praktek budidaya daphnia di BBAP Ujung Batee dapat dilihat pada grafik dan table di bawah ini.

Grafik. Populasi Daphnia sp dalam fiber 1






Grafik. Populasi Daphnia sp dalam fiber 2

Tabel. Populasi Daphnia sp di BBIS Ngrajek
No fiber Populasi Daphnia sp selama 2 hari masa pemeliharaan (ekor) Populasi Daphnia sp selama 4 hari masa pemeliharaan (ekor) Populasi Daphnia sp selama 6 hari masa pemeliharaan (ekor) Populasi Daphnia sp selama 7 hari masa pemeliharaan (ekor)
1 601.888 1.241.394 1.794.379 1.794.440
2 825.301 1.322.122 1.833.878 1.833.957

Melakukan pemanenan
Pada pelaksanaan praktek kerja lapangan di BBIS Ngrajek, pemanenan Daphnia sp dilakukan secara pemanenan total. Pemanenannya dimulai dengan menyiapkan ember. Ember diisi air bersih setengah dari volume total ember, kemudian atasnya diberi planktonet. Ember yang telah dilengkapi planktonet tersebut di letakkan di dekat lubang pengeluaran fiber. Kemudian selang yang diameternya sama dengan lubang pengeluaran fiber dipasang pada outlet fiber dengan cara membuka penutup outlet fiber terlebih dahulu. Kemudian selang tersebut diletakkan pada ember yang telah berisi plantonet sehingga air media dapat tersaring melalui planktonet. Biarkan air media tersaring hingga airnya habis. Setelah air pada fiber habis dan Daphnia sp telah terkumpul dalam planktonet. Kemudian daphnia dibersihkan atau dibilas dengan air bersih dan ditiriskan. Setelah itu daphnia basah ditimbang untuk mengetahui bobot basah daphnia sp.

Gambar. Pemanenan Daphnia sp

Penanganan Daphnia sp pasca panen
Di BBAP Ujung Batee hasil dari panen daphnia sp tidak dipacking atau diawetkan karena jumlahnya yang sedikit. Sehingga hasil panennya langsung diberikan kepada benih ikan dalam kolam pendederan baik ikan lele, ikan nila, maupun ikan karper. Selain itu juga diberikan pada beberapa jenis ikan hias seperti ikan komet ataupun ikan koi.








B. ROTIFER
Dalam mata rantai kultur Zooplankton , kultur massal merupakan rantai terakhir sebelum dilakukan pemanen . Zooplankton yang sudah dikembangkan di BBAP Ujung Batee adalah rotifera. Keberhasilan dalam kultur massal zooplankton merupakan salah satu kunci yang menentukan keberhasilan usaha pembenihan. Hal ini disebabkan dalam pemilihan organisme laut, terutama pada stadia awal masih bergantung pada pakan hidup berupa zooplankton.

1. Kultur Rotifer
Kultur massal Rotifera dilakukan di Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee dilakukan pada bak volume 10 M3. Namun kapasitas bak yang 10 M3 ini tidak diisi penuh melainkan hanya 50% dari total kapasitas bak yang ada. Kultur dilakukan di bak terbuka yang cukup mendapatkan cahaya matahari, karena hingga saat ini pakan untuk rotifera masih menggunakan pakan hidup berupa fitoplankton, tetapi apabila rotifera mengalami masalah maka pakan buatan seperti Ragi roti dapat ditambahkan sebagai suplemen.
Metode panen harian, terlebih dahulu menumbuhkan phytoplankton pada bak kultur rotifera hingga mencapai kepadatan tertentu tergantung dari phytoplankton yang digunakan . Untuk penggunaan phytolankton diperlukan kepadatan sekitar 2 juta cell/ml . Dalam kultur fitoplankton digunakan air laut steril , untuk menghindari terjadinya kontaminasi dengan organisme lain. Sterilisasi air laut menggunakan kaporit dosis 10 ppm. Tujuan sterilisasi untuk menghilangkan barbagai jenis fitoplankton, dan organisme tertentu yang dapat menghambat pertumbuhan, Setelah fitoplankton siap bibit rotifera dapat ditebar dengan kepadatan 40 ekor/ml yang berasal dari kultur semi massal. Pemanenan dapat dilakukan setelah kepadatan mencapai 100 ekor/ml . Saat panen rotifera hendaknya tidak dihabiskan tetapi dipanen sekitar 20 - 30% dari total volume, dan dapat diberikan pada larva atau sebagai bibit untuk kultur selanjutnya. Kemudian bak kultur diisi kembali dengan phytoplankton hingga volume semula. Panen rotifera dapat dilakukan tiap hari pada bak kultur yang sama hingga bak kultur sudah terlihat kotor atau rotifera sudah terkontaminasi dengan zooplankton lain. Panen dapat dilakukan dengan cara mengalirkan air media pemeliharaan bersama dengan rotifera dan ditampung dengan menggunakan ember yang telah ditampung dengan saringan 300 mesh size, untuk mengalirkan air media kultur menggunakan spiral 1” . Untuk menghilangkan kotoran yang ikut saat panen rotifera disaring kembali menggunakan saringan dengan diameter 200 mikron kemudian dicuci denagn air laut bersih . Hasil panen dapat langsung dimasukkan ke bak larva ikan sebagai pakan.

C. Artemia Salina
1. Biologi Artemia Salina
Artemia termasuk kedalam filum Arthopoda, kelas Crustacea, ordo Anacostraca dan famili Artemiidae. Artemia dewasa dapat mencapai panjang antara 1 sampai 2 cm, dengan berat badan 10 mg. anak artemia yang baru menetas (nauplius instar I) panjangnya sekitar 0,4 mm dan berat sekitar 15 mikrogram. Nauplius instar II panjangnya 0,7 mm. telur yang masih bercangkang berdiameter sekitar 300 mikron dan berat kering sekitar 3,65 mikrogram. Telur yang telah didekasulasi (dibuang cangkangnya) ukuran garis tengahnya sekitar 210 mikron. Beberapa jenis Artemia yang dikenal antara lain, Artemia fransciscana, A.tunisiana, A.urmiana, A.persimilis, A.monica, A.odessensis, dan A.partenogenetica.





Gambar. Morfologi Artemia salina
Penetasan artemia dilakukan dengan menggunakan wadah berbentuk corong (conical tank). apabila jumlah sedikit dapat menggunakan ember. Penetasan kista dapat dilakukan dengan penetasan langsung atau dekapsulasi dengan chlorine. Penetasan langsung dengan cara bak corong diisi air laut dan diaerasi kuat, kemudian kista artemia dimasukkan ke dalam bak. Di Balai Budidaya Ujung Batee penetasan Kista Artemia di lakukan pada Bak Corong konikol Tank dengan nkapasitas air 250 liter. Kista yang akan ditetaskan dalam bak corong berkisar antara 150 – 200 gram.
Agar daya tetasnya baik maka kepadatan kista tidak lebih 2 -5 gram/liter, dengan salinitas air laut 15-35 ppt, suhu 25-28 oC, lama penetasan antara 18-36 jam. Penetasan dekapsulasi yaitu menghilangkan lapisan luar kista dengan menggunakan larutan hipoklorit tanpa mempengaruhi kelangsungan hidup embrio. Proses dekapsulasi sebagai berikut : kista dihidrasi dengan air tawar selama 1-2 jam, kista disaring dengan saringan 120 μm dan dicuci bersih, kista dicampur dengan larutan hipoklorit dan diaduk secara manual, suhu dipertahankan < 40 oC. Jika perlu ditambahkan es. Lama proses dekapsulasi 5-15 menit ditandai perubahan warna kista dari coklat menjadi orange. Kista dicuci bersih dengan air laut sampai bau hipoklorit hilang. Kista ditetaskan, dan setelah menetas naupli artemia dapat langsung diberikan pada larva.
Teknik Kultur Artemia Salina
a]. Persiapan wadah dan media kultur.
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan ini yaitu :
Erlenmeyer
Pengaduk
Pisau alat tulis
Neraca
Pipa aerator
Selang aerasi
Konikel tank volume 250 liter
Cyst artemia
Air laut

b]. Cara Kerja
Mempersiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
Pengisian air kedalam konikel tank sebanyak 250 liter dengan salinitas 30-34 ppt
Perendaman cyst artemia kedalam air tawar selama 15 menit dengan tujuan agar cyst tersebut menipis dan mempercepat proses penetasan
Memasukan cyst tersebut kedalam konikel tank
Pemsangan aerasi kencang sebanyak 2 buah agar cyst artemia tersebut teraduk rata dan tidak mengendap
Selanjutnya wadah ditutup dengan menggunakan terpal
c]. Pemanenan
diamana alat yang digunakan dalam pemanenan yaitu berupa :
Seser ukuran 150 mikron
Baskom yang diisi air laut

d]. Cara Kerja
Sebelum dialkukan pemanenan wadah ditutup selama 15-20 menit dan aerasi dimatikan agar cangkang dan naupli terpisah
Setelah 20 menit terpal dibuka dan lakukan pemanenan melalui pipa bawah yang ditampung dengan serok dari bawah.
Selanjutnya naupli artemia siap diberikan kelarva udang dan ikan.






Budidaya Benthos
Disini saya mengambil jenis dari bebthos diantaranya :
Cacing Tubifex
Klasifikasi cacing tubifek
Filum : AnnelidKelas : OligochaetaOrdo : Haplotaxida
Famili : Tubificidae
Genus : Tubifex
Spesies : Tubifex sp
Bentuk tubuh cacing ini menyerupai rambut dengan panjang badan antara 1-3cm dengan tubuh berwarna merah kecoklatan dengan ruas ruas. Cacing ini hidup dengan membentuk koloni di perairan jernih yang kaya bahan organik. Cacing ini memiliki 57% protein dan 13% lemak dalam tubuhnya.
Cacing sutra merupakan hewan hermaprodit yang berkembang biak lewat telur secara eksternal. Telur yang dibuahi oleh jantan akan membelah menjadi dua sebelum menetas.
Bahan organik yang baik untuk digunakanoleh cacing sutra adalah campuran antara kotoran ayam, dedak (bekatul) dan lumpur.

Gambar. Cacing Tubifex
Teknik Budidaya Cacing Tubifeka. Persiapan Wadah dan Media
1. Alat dan bahan yang digunakan yaitu :
Alat :
Paku
Palu
Gergaji
Kapak
Mistar
Gunting
Karter
Bahan :
Kayu
Terpal plastic
Air
Lumpur
Pupuk kandang

2). Persiapan Bibit
Bibit bisa dibeli dari toko ikan hias atau diambil dari alam dan sebaiknya bibit cacing di karantina dahulu karena ditakutkan membawa bakteri patogen.

3). Persiapan Media
Media perkembangan dibuat sebagai kubangan lumpur dengan ukuran 1 x 2 meter yang dilengkapi saluran pemasukan dan pengeluaran air. Tiap tiap kubangan dibuat petakan petakan kecil ukuran 20 x 20 cm dengan tinggi bedengan atau tanggul 10 cm, antar bedengan diberi lubang dengan diameter 1 cm.
4). Pemupukan Lahan di pupuk dengan dekak halus atau ampas tahu sebanyak 200 – 250 gr/M2 atau dengan pupuk kandang sebanyak 300 gr/M2.
5). Fermentasi
Lahan direndam dengan air setinggi 5 cm selama 3-4 hari.

Identifikasi Cacing Rambut/Tubufex
1]. Alat dan bahan yang digunakan yaiut :
Mikroskop
Kaca preparat/kaca objek
Pinset
Sample tubifex
Formalin

2]. Cara kerja
Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan
Ambil satu ekor sample tubifex lalu letakan diatas kaca objek dengan menggunakan pinset, dan agar mempermudahkan pengamatan gunakan formalin agar tubifex tidak terlalu aktif bergerak
Amati dan bandingkan dengan yang dibuku
Ukur panjang dan jumlah segmen diamati dan kemudian digambar dan ingatlah dengan benar biologi, fisiologi, dan anatominya.

c. Cara Menginokulasi Bibit
1]. Alat dan bahan yang digunakan yaitu :
Kotak
Pipa paralon dengan lobang kecil
Bibit tubifex
Air

2]. Cara kerja
Persiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
Lakukan pengdaan debit air melalui pipa sebesar 900 ml/menit
Tebarkan bibit tubifex dengan kepadatan yang diinginkan, dan biasanya 2 gram/m2
Control air agar tetap mengalir dengan debit yang konstan
Hitung kepadatan tubifex yang akan ditebar.

d. Pemanenan
Biasanya cacing Bisa dipanen setelah 8 - 10 hari. Dan alat dan bahan yang digunakan berupa :
1]. Alat dan bahan:
Baskom
Selang
Timbangan/neraca elektrik
Cawan Petri
Tubifek
Air

2]. Cara kerjanya
Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan
Masukan media dan tubifex kedalam baskom lalu diberi air
Diamkan selama 4-6 jam dan tutup rapat, setelah 6 jam kemudian ambil dengan seser halus dan pisahkan tubifex dengan media jika tubifex muncul kepermukaan yang telah dialiri air
Ambil sample untuk menghitung populasi sebanyak 1 mg. dan hitung total kepadatan
Bersihkan alat dan kembalikan pada tempatnya
Selanjutnya tubifex siap di panen dan diberikan langsung pada benih ikan.


DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, Pedoman Teknis Budidaya Pakan Alami Ikan Dan Udang,(Jakarta,
badan penelitian dan pengembangan pertanian, 1990).
Chyka Esi Niagara., 2007. Produksi Skeletonema costatum sebagai pakan alami larva Udang windu. Universitas Syahkuala, Banda Aceh. (tidak dipublikasikan)
Djarijah, A,S,Ir. Pakan Alami, (Yokyakarta, kaniusus 1995).
Hartati, Sri. Kultur Makan Alami, (Jakrta, Direktorat Jendral Perikanan dan
International Development Research Center. 1986).
Harefa, F. Pembudidayaan Artemia Untk Pakan Udang dan Ikan,
(Jakarta, Penebar Swadaya)

Senin, 20 April 2009

group diskusi

http://groups.google.co.id/
Simpan Sekarang
Cherax quadricarinatus merupakan salah satu komoditas perikanan yang bernilai tinggi, baik
sebagai udang hias maupun konsumsi. Dalam pertumbuhannya lobster membutuhkan pakan
yang memadai dan dapat menunjang proses fisiologis pada tubuh udang. Sementara itu, pakan
merupakan biaya produksi yang cukup tinggi, yaitu mencapai 40 – 70 % dari total biaya
operasional produksi dan protein merupakan salah satu bagian yang dihitung dalam pakan.
Tepung ikan merupakan salah satu protein hewani yang sangat dibutuhkan untuk udang karena
mengandung nilai protein yang tinggi, akan tetapi memiliki harga yang mahal, sehingga
diperlukan upaya pengembangan pakan berbahan baku sumber protein nabati yang mudah
diperoleh, harganya murah dan memiliki kandungan nutrisi yang sesuai. Salah satu bahan baku
sumber protein yang dapat dijadikan alternatif dalam pembuatan pakan buatan adalah Lemna
minor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui optimasi pakan buatan berbasis Lemna minor
terhadap pertumbuhan dan kesintasan juvenil lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) serta
mengetahui potensi ekonomi dalam budidaya lobster. Pada penelitian ini dibuat 5 jenis perlakuan
pakan, yaitu (1) pakan 1, dengan formulasi 0% L.minor dan 100% tepung ikan; (2) pakan 2,
dengan formulasi 15% L.minor dan 85% tepung ikan; (3) pakan 3, dengan formulasi 30%
L.minor dan 70% tepung ikan; (4) pakan 4, dengan formulasi 45% L.minor dan 55% tepung
ikan; (5) pakan 5, dengan formulasi 60% L.minor dan 40% tepung ikan. Sebagai kontrol
digunakan pakan komersial. Pengujian dilakukan pada udang lobster dengan bobot rata-rata awal
0,346 ± 0,03 gram dan panjang tubuh rata – rata 1,8±0,08 cm. Parameter yang diukur meliputi
penambahan berat dan panjang tubuh, laju pertumbuhan, efisiensi pakan, kesintasan, dan kondisi
kualitas air (DO, pH, kadar amonium, kadar nitrit, kadar nitrat dan kepadatan mikroba). Dari
tahap penelitian awal diperoleh laju pertumbuhan tertinggi dijumpai pada kultur kontrol yang
diberi pakan komersial, yaitu 0,044±0,004 g/hari, diikuti dengan perlakuan pemberian pakan P5,
P4, P3, P2, dan P1, masing – masing sebesar 0,034±0,003 g/hari, 0,025±0,007 g/hari,
0,022±0,003 g/hari, 0,019±0,006 g/hari, dan 0,017±0,007 g/hari. Nilai rasio pakan terendah
adalah pada kultur yang diberi pakan komersial dengan perbandingan 2,34 : 1, namun hasil ini
tidak berbeda nyata dengan kelima kelompok perlakuan lainnya. Persentase kesintasan tertinggi
dicapai pada pemberian pakan komersial, yaitu sebesar 84±3,8 %, dilanjutkan dengan perlakuan
pemberian pakan P5, P3, P4, P1 dan P2 masing – masing sebesar 73±6,7 %, 58±3,8 %, 51±7,7
%, 44±7,7 % dan 42±3,8 %. Uji lanjutan dilakukan pada pakan terpilih, yaitu pakan 5 yang
disubstitusi dengan pakan komersil sebanyak 25% (PA) dan 50% (PB). Hasil uji menunjukkan
bahwa PA memiliki laju pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan PB, sebesar 0,008±0,00 g/hari,
dan biomassa (14,04±1,10) gram. Selama penelitian, parameter fisika dan kimia dalam semua
perlakuan masih berada dalam kisaran yang layak untuk pemeliharaan juvenil lobster air tawar.
Analisa secara ekonomi menunjukkan bahwa penggantian tepung ikan oleh Lemna minor

Selasa, 14 April 2009

pikiranku

Ikan mas dikenal dengan berbagai sebutan. Dalam nbahasa inggris ikan mas di sebut cammon carp. Di pulau jawa ,disebut sebagai ikan masmasan atau lauk mas. Sementara disumatera disebut ikan rayo atau ikan aneh.

Saat ini ikan mas mempunyai banyak ras atau stain. Perbedaan sifat dan cirri dari ras disebabkan oleh adanya interaksi antara genotipe dan lingkungan kolam, musim dan cara pemeliharaan yang terlihat dari penampilan bentuk fisik, bentuk tubuh dan warnanya. Adapun ciri-ciri dari beberapa strain ikan mas adalah sebagai berikut:

1) Ikan mas punten: sisik berwarna hijau gelap; potongan badan paling pendek; bagian punggung tinggi melebar; mata agak menonjol; gerakannya gesit; perbandingan antara panjang badan dan tinggi badan antara 2,3:1.

2) Ikan mas majalaya: sisik berwarna hijau keabu-abuan dengan tepi sisik lebih gelap; punggung tinggi; badannya relatif pendek; gerakannya lamban, bila diberi makanan suka berenang di permukaan air; perbandingan panjang badan dengan tinggi badan antara 3,2:1.

3) Ikan mas si nyonya: sisik berwarna kuning muda; badan relatif panjang; mata pada ikan muda tidak menonjol, sedangkan ikan dewasa bermata sipit; gerakannya lamban, lebih suka berada di permukaan air; perbandingan panjang badan dengan tinggi badan antara 3,6:1.

4) Ikan mas taiwan: sisik berwarna hijau kekuning-kuningan; badan relative panjang; penampang punggung membulat; mata agak menonjol; gerakan lebih gesit dan aktif; perbandingan panjang badan dengan tinggi badan antara 3,5:1. 5) Ikan mas koi: bentuk badan bulat panjang dan bersisisk penuh; warna sisik bermacam-macam seperti putih, kuning, merah menyala, atau kombinasi dari warna-warna tersebut.

5) Beberapa ras koi adalah long tail Indonesian carp, long tail platinm nishikigoi, platinum nishikigoi, long tail shusui nishikigoi, shusi nishikigoi, kohaku hishikigoi, lonh tail hishikigoi, taishusanshoku nshikigoi dan long tail taishusanshoku nishikigoi. Dari sekian banyak strain ikan mas, di Jawa Barat ikan mas punten kurang berkembang karena diduga orang Jawa Barat lebih menyukai ikan mas yang berbadan relatif panjang. Ikan mas majalaya termasuk jenis unggul yang banyak dibudidayakan.

Morfologi ikan mas (Cyprinus carpio)

Bentuk tubuh ikan mas agak memanjang dan memipih tegak (compressed) dan mulutnya terletak di ujung tengah (terminal) dan dapat disembulkan (protaktil). Bagian ujung mulut memiliki dua pasang sungut. Di ujung dalam mulut terdapat gigi kerongkongan ( pharyngeal teeth ) yang tesusun dari tiga baris. Gigi geraham secara umum, hamper seluruh tubuh ikan mas ditutupi oleh sisik, kecuali beberapa varietas yang memiliki beberapa sisik. Sisik ikan masn yang berukuran relative besar di golongkan kedalam sisik tife lingkaran (sikloid).

Sirip punggung (dorsal) memanjang dan bagian belakngnya berjari keras. Sementara itu, sirip ketiga dan keempatnya bergerigi. Letak sirip punggung, bersebrangan dengan permukaan sirip perut (ventral). Sirip dubur (anal) mempunyai cirri seperti sirip punggung, yakni berjari keras dan bergerigi. Garis rusuk atau gurat sisi (linea laterlaris) pada ikan mas tergolong lengkap, berada dipertengahan tubuh dengan posisi melentang dari tutup insang sampai ke ujung belakang pangkal ekor

Kebiasaan hidup ikan mas di alam (Cyprinus carpio)

Ikan mas menyukai tempat hidup (Habitat) diperairan airtawar yang tidak terlalu dalam dan alirannya tidak terlalu deras, misalnya dipinggiran sungai atau danau. Ikan ini dpat hidup baik diketinggian 150-600 m di atas permukaan laut (dpl) dan pada suhu 25-30O C. Meskipu tergolong ikan air tawa, ikan mas juga terkadang ditemukan di perairan payau atau dimuara sungai yang besalinitas ( kadar garam) 25-30%.

Ikan mas tergolong jenis omnivore, yakni yang dapat memangsa berbagai jenis makanan, baik yang berasal dari tumbuhan maupun binatang renik. Namun, makanan umumnya, makanan utamanya adalah tumbuhan dan binatang yang terdapat didasar dan di tepi perairanih

Kebiasaan makan (Cyprinus carpio)

Biasanya, petani ikan lebi menyukai memberikan pakan tambahan terhadap ikan mas berupa dedak atau pellet. Padahal, ikan ini tergolong ikan pemakan segala (omnivore).

Hal ini bisa dibuktikan dengan pemberian pakan dari sisa-sisa dapur atau tanaman lain yang lunak. Biasanya, benih ikan mas hanya memakan Prozoa dan Crustacea. Benih yang berukuran 10 cm memakan jasad dasar seperti chironomidae, Olighocate, Epeminidae, Thricoptera, Tubificidae, Mulusca, dan lain sebagainya.jasad-jasad tersebut dimakan bersama-sama dengan tanaman air yang membusuk dan bahan organic lainnya.

Ikan mas dewasa dan induk sering merusak pematang kolam, terutama dasarnya. Ini karean kebiasaan makanikan mas yang sering mengaduk – aduk dasar kolam, terutama dasar pematang untuk mencari jasad – jasad organic. Kebiasaan mengaduk-aduk dasar kolam ini menjadikan nya mendapat julukan bottom fedder atau pemakan dasar.

Menurut beberapa pengamat , kebiasaan buruknya ikan mas ternyata menguntungkan pertumbuhan benih-benih yang lain masih lemah. Terutama benih yang dirawat atau dipelihara bersama-sama ikan dewasa.

Penyebabnya, dengan aktivitas ikan mas dewasa atau induk, jasad-jasad didasar kolam teraduk diatas. Dengan demikian , akan memudahkan benih-benih yang kecil untuk memakannya tanpa bersusah payah berenang kedalam kolam yang dalam.

Adapun keburukan lainya dari ikan mas, ikan ini bukan tergolong dari ikan yang suka merawat ank-anaknya. Jadi, ada kemungkinan anak-anaknya ikut terisap oleh ikan dewasa. Di alam danau atau sungai tempat hidupnya, ikan ini hidup menepi sambil mengincar pakan berupa binatang kecil yang hidup diatas lapisan limpur tepi danau atau sungai. Berdasarkan kebiasaan makan ini, tentunya akan lebih mudah mendalami kemauan sang ikan dan kemampuan pengusaha ikan dikolam pekarangan untuk dapat berproduksi semaksimal mungkin.

Perbedaan jantan dan betina ikan mas (Cyprinus carpio)

adapunciri indik yang membedakan antara jantan dan betina adalah :

Betina :

· Perut induk membesar sampai kearah anus dan perut tersa empuk bila diraba.

· Kloaka membengkak dan berwarna merah tua

· Kulit bagian perut lembek dan tipis

Bila sekitar kloaka ditekan, akan keluar beberapa butr dan ukurannya bunar dan bensuknya sergam.

Jantan :

· Kulit perut lembek dan tipis.

· Bila di urut, akan keluar cairan sperma berwarna putih.

Kelamin membengkak dan berwarna merah tua.

Bentuk Organ Tubuh Ikan

Kebiasaan makan dari jenis-jenis ikan dapat dilihat dari bentuk atau morfologi beberapa alat tubuh yang digunakan dalam proses pencernaan, seperti mulut, gigi, dan alat-alat pencernaan lainnya. Meenurut Mudjiman (1991) tulang tafis insang dapat dijadikan salah satu paraneter untuk mengetahui kebiasaan makan ikan, seperti

Tulang tapis insang pada ikan pemakan segala, ikan penggerogot, dan ikan pemakan tumbuh-tumbuhan (Herbivora) pada umumnya tumbuh medium. Artinya tidak pendek dan juga tidak panjang, agak lentur, serta agak jarang.

Tulang tapis insang ikan pemakan daging dan ikan pemangsa mengalami modifikasi menjadi jarang-jarang, pendek, tajam, serta keras. Oleh karena itu, dinamakan gigi-gigi insang. Alat ini berguna untuk menahan mangsa yang sedang ditelan supaya tidak lolos sewaktu melewati kerongkongan.

Tulang tafis insang pada ikan pemakan plankton yang mengambil makanannya dengan cara menyaring, tulang tapis insangnya termodifikasi menjadi alat penyaring yang kedap lentur dan panjang-panjang. Pada waktu mulut dikatupkan, air keluar melalui celah insang yang telah berfungsi sebagai saringan.

Gambar 4 Bentuk insang ikan berdasarkan makanannya

Sementara menurut Affandi (2004) berdasarkan jenisnya terlihat perbedaan yang sangat mencolok antara ketiga jenis ikan yakni pada bagian tafis insang, rongga mulut, lambung dan usus seperti pada tabel di bawah ini :

Tabel 1 Sifat Ikan Berdasarkan Bentuk organ dalam

Organ / Segmen

Herbivora

Omnivora

Karnivora

Tapis insang

Banyak panjang – panjang dan rapat

Sedang

Sedikit, pendek,dan kaku serta jarang.

Rongga mulut

Sering tidak bergigi

Bergigi kecil

Umumnya bergigi kuat dan tajam

Lambung

Berlambung palsu atau tidak berlambung

Berlambung dengan bentuk kantong

Berlamnung dengan beentuk tabung

Usus

Sangat panjang beberapa kali panjang tubuh

Sedang 2 – 3 kali panjang tubuh

Pendek, kadang lebih pendek dari panjang tubuh

Perbedaan struktur anatomis organ / segmen saluran pencernaan pada ketiga kategori ikan.